Senin, 16 Juni 2014

FORUM FIQH MUNAKAHAT (2)

PERTANYAAN Syarat wali diantaranya ialah ‘adil (tidak fasiq). Apa kriteria yang tergolong fasiq? Apakah sah menjadi wali nikah? JAWABAN: Kriteria fasiq adalah: 1. Orang yang melakukan dosa besar 2. Terus menerus melakukan dosa kecil Sedangkan hukum orang fasiq menjadi wali nikah, Ulama’ masih berbeda pendapat: 1. Menurut Madzhab Hanafi dan Maliki boleh menjadi wali 2. Menurut Madzhab Syafii dan Hanbali orang fasiq tidak sah menjadi wali 3. Menurut sebagian Ulama’ dari kalangan Syafiiyah menyatakan bahwa orang fasiq boleh menjadi wali nikah. Pendapat ini didukung oleh Imam Rafii, Nawawi, Ruyani dan mayoritas Ulama’ Mutaakhirin. Dasar Hukum/Rujukan kitabnya : • الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج ٣۲/ص ١٤٠) الْفِسْقُ فِي اللُّغَةِ : الْخُرُوجُ عَنِ الطَّاعَةِ ، وَعَنِ الدِّينِ ، وَعَنِ الاِسْتِقَامَةِ. وَالْفِسْقُ فِي الأَْصْل خُرُوجُ الشَّيْءِ مِنَ الشَّيْءِ عَلَى وَجْهِ الْفَسَادِ ، وَمِنْهُ قَوْلُهُمْ : فَسَقَ الرُّطَبُ : إِذَا خَرَجَ عَنْ قِشْرِهِ . وَفِي الاِصْطِلاَحِ قَال الشَّوْكَانِيُّ : هُوَ الْخُرُوجُ عَنِ الطَّاعَةِ وَتَجَاوُزُ الْحَدِّ بِالْمَعْصِيَةِ . وَالْفِسْقُ يَقَعُ بِالْقَلِيل مِنَ الذُّنُوبِ إِذَا كَانَتْ كَبَائِرَ ، وَبِالْكَثِيرِ ، لَكِنْ تُعُورِفَ فِيمَا كَانَ كَثِيرًا ، وَقَدْ يَكُونُ الْفِسْقُ شِرْكًا ، وَقَدْ يَكُونُ إِثْمًا ، وَأَكْثَرُ مَا يُقَال الْفَاسِقُ لِمَنِ الْتَزَمَ حُكْمَ الشَّرْعِ وَأَقَرَّ بِهِ ثُمَّ أَخَل بِجَمِيعِ أَحْكَامِهِ أَوْ بِبَعْضِهِ (Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jld. 32, hlm. 140) Fasik secara bahasa adalah keluar dari ketaatan, melanggar agama, dan tidak istiqamah. Sejatinya, fasik adalah keluarnya sesuatu dari sebuah aturan dalam bentuk kerusakan atau kesalahan. Hal ini dicontohkan dengan: fasaqa al-ruthab yang artinya kurma itu keluar dari kulitnya. Al-Syaukani mengatakan bahwa fasik secara istilah adalah keluarnya seseorang dari ketaatan dan melanggar batasan dengan melakukan sebuah maksiat. Seseorang bisa dikatakan fasik dengan melakukan sedikit atau banyak dosa besar. Akan tetapi, biasanya digunakan untuk menunjukkan bahwa seseorang telah banyak berbuat dosa besar. Fasik bisa jadi adalah kemusyrikan, dan kadang kala merupakan jenis dosa yang lain. Kebanyakan, seseorang disebut fasik jika ia mengakui bahwa ia harus mentaati hukum syara’ namun pada kenyataannya ia tidak melaksanakannya baik keseluruhan dari hukum tersebut atau sebagian darinya. Dasar Hukum/Rujukan kitabnya : • كفاية الأخيارفي حل غاية الإختصار – (ج ١/ص ٣٥٨) وقوله والعدالة احترز به عن غيرها فالفاسق هل يلي تزويج موليته فيه خلاف منتشرالمذهب أنه لا يلي كولاية المال ولقوله صلى الله عليه وسلم ( ( لا نكاح إلى بولي مرشد ) ) أي رشيد لأن الفسق يقدح في الشاهد فكذا في الولي كالرق ويستثنى من هذا السيد فإنه يزوج أمته ولو كان فاسقا لأنه يزوج بالملك على الأصح لا بالولاية واعلم أن الرافعي قال إن أكثر المتأخرين أفتى بأن الفاسق يلي لا سيما الخراسانيون واختاره الروياني قال النووي وسئل الغزالي في ولاية الفاسق فقال إنه لو سلبناه الولاية لانتقلت إلى حاكم يرتكب ما نفسقه به ولي وإلا فلا قال النووي وهذا الذي قاله حسن فينبغي أن يكون العمل به والله أعلم (Kifâyah al-Akhyâr fî Hall Ghâyah al-Ikhtishâr, jld. 1, hlm. 356) ‘Adâlah seseorang akan menjaganya dari (semua perbuatan) yang menjadikannya tidak adil. Apakah seseorang yang fasik berhak untuk menjadi wali bagi perempuan yang ada dalam perwaliannya? Dalam hal ini madzhab-madzhab berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat bahwa ia tidak bisa menjadi wali sebagaimana wali dalam harta berdasarkan sabda Rasulullah Saw.: “Tidak ada pernikahan tanpa seorang wali ‘mursyid”. Adapun maksud dari mursyid yaitu seseorang yang mendapatkan petunjuk. Karena kefasikan merupakan cela bagi seseorang, maka demikian pula halnya dalam perwalian. Sebagaimana budak yang dibedakan dengan seorang tuan, karena seorang tuan berhak untuk menikahkan budak perempuannya, meski ia adalah seorang yang fasik. Hal ini disebabkan karena tuan tersebut menikahkan si budak perempuan lantaran kepemilikannya atasnya, inilah yang benar, bukan lantaran ia adalah wali bagi budak perempuannya. Ketahuilah sesungguhnya al-Rafi’i berkata: “Mayoritas ulama modern menfatwakan bahwa seorang fasik bisa menjadi wali, khususnya mereka yang berasal dari Khurasan”. Pendapat ini jugalah yang dipilih oleh al-Rauyani. Al-Nawawi berhaka bahwa al-Ghazali ditanya tentang hak perwalian seorang yang fasik, lalu ia menjawab sesungguhnya jika kita mencabut hak perwaliannya, maka hak tersebut beralih kepada hakim, jika ia tidak fasik, maka hak tersebut tidak bisa beralih. Al-Nawawi menuturkan bahwa pendapat inilah juga dikatakan oleh Hasan (Bashri) dan harus dipatuhi. • الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج ٣۲/ص ١٤٤)ed by : ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْفَاسِقَ يَكُونُ وَلِيًّا فِي النِّكَاحِ عَلَى مُوَلِّيَتِهِ ، لأَِنَّهُ يَلِي مَالَهَا فَيَلِي بُضْعَهَا كَالْعَدْل ، فَهُوَ وَإِنْ كَانَ فَاسِقًا فِي دِينِهِ إِلاَّ أَنَُ غَيْرَتَهُ مُتَوَفِّرَةٌ ، وَبِهَا يَحْمِي الْحَرِيمَ ، وَقَدْ يَبْذُل الْمَال وَيَصُونُ الْحُرْمَةَ ، وَإِذَا وَلِيَ الْمَال فَالنِّكَاحُ أَوْلَى .إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ كَرِهُوا لِلْوَلِيِّ الْفَاسِقِ أَنْ يَلِيَ زَوَاجَ مَنْ يَلِي عَلَيْهَا ، وَقَدَّمُوا عَلَيْهِ الْوَلِيَّ الْعَدْل الْمُسَاوِيَ لَهُ فِي الدَّرَجَةِ. وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ النِّكَاحَ لاَ يَنْعَقِدُ بِوَلِيٍّ فَاسِقٍ عَلَى الْمَذْهَبِ ، غَيْرَ الإِْمَامِ الأَْعْظَمِ ، مُجْبَرًا كَانَ أَمْ لاَ ، أَعْلَنَ بِفِسْقِهِ أَمْ لاَ ، فَلاَ يُزَوِّجُ الْوَلِيُّ الْفَاسِقُ وَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ لَوْ سُلِبَ الْوِلاَيَةَ لاَنْتَقَلَتْ إِلَى حَاكِمٍ فَاسِقٍ ، وَالْوَلِيُّ الْخَاصُّ تُشْتَرَطُ فِيهِ الْعَدَالَةُ مُطْلَقًا بِخِلاَفِ الْحَاكِمِ ، فَلاَ تُشْتَرَطُ فِيهِ الْعَدَالَةُ ، لأَِنَّهُ يُزَوَّجُ لِلضَّرُورَةِ ، وَالضَّرُورَةُ يُغْتَفَرُ فِيهَا مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا  Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Juz 32/hlm. 144) Pengikut madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa orang fasik bisa menjadi wali dalam pernikahan perempuan yang ada dalam perwaliannya. Karena dia menjadi wali perempuan itu dalam hartanya, maka demikian pula halnya dengan kemaluannya seperti wali yang adil. Meski wali itu adalah seorang yang fasik dalam perkara agama, namun tetap saja rasa kecemburuannya (atau perasaan sayang kepada perempuan yang ada dalam perwaliannya) tetaplah tidak berkurang. Rasa tersebutlah yang membuatnya tetap menjaga istrinya, menafkahkan hartanya, dan menjaga kehormatan. Jika ia dibolehkan untuk menjadi wali atas perkara harta, maka menjadi wali nikah lebih utama. Hanya saja, pengikut madzhab Maliki menyatakan kemakruhan seorang wali fasik menjadi wali dalam pernikahan. Maka seharusnya ada wali ‘adl lain yang sederajat dengan wali fasik itu menggantikannya untuk menjadi wali nikah. Pengikut madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa tidak sah akad nikah dengan wali yang fasik, kecuali penguasa (wali hakim), baik terpaksa atau tidak, jelas fasiknya atau tidak. Maka wali fasik tidak boleh mengawinkan. Dan sekiranya perwalian itu dicabut, maka perwalian berpindah kepada wali hakim yang fasik. Wali khâsh disyaratkan harus adil, sedangkan wali hakim tidak dipersyaratkan keadilannya. Ini karena wali hakim menikahkan seseorang lantaran keadaan mendesak (dharûrah), dan keadaan mendesak membenarkan sesuatu yang dalam kasus lain tidak dibenarkan. Mohon koreksi...... Prepared by : Arif R, MSi (Ka KUA Burneh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar