Senin, 09 Juni 2014

FORUM FIQH MUNAKAHAT

PERTANYAAN Wali aqrab tidak ada di tempat (masafatul qasri), sedangkan wali ab’ad ada di tempat. Dalam hal ini siapa yang berhak menjadi wali? apakah wali hakim atau wali ab’ad? JAWABAN: Dalam kondisi seperti di atas menurut qaul ashah yang berhak menjadi wali adalah Hakim ( Kepala KUA ). Dasar/Rujukan kitabnya : • بغية المسترشدين للسيد باعلوى الحضرمى – ( ج ١ / ص ٤٢٤) (مسألة : ي) : غاب وليها مسافة القصر انتقلت الولاية للحاكم لا للأبعد في الأصح ، ثم ينبغي استئذانه أو الإذن له خروجاً من هذا الخلاف القائل به الأئمة الثلاثة ، فلو زوج الأبعد حينئذ كان الوطء شبهة يثبت به نسب الأولاد ، وتحريم المصاهرة ، ومهر المثل للموطوءة والعدة ، لأجل النظر واللمس والخلوة وعدم النقض ، ويجب التفريق بينهما ، ولواطئها العقد بها في عدته ولها المسمى حينئذ. (Bughyah al-Mustarsyidîn li al-Sayyid Ba’lawî al-Hadhramî, jld. 1, hlm. 424) (Permasalahan): Jika wali seorang perempuan berada jauh sejauh jarak yang dibolehkan untuk meng-qashar shalat, maka perwalian tersebut beralih kepada wali hakim dan bukan kepada wali ab’ad meski ia ada di tempat. Kemudian harus meminta izin kepada wali asli untuk keluar dari perdebatan sebagaimana dikatakan oleh ketiga imam. Apabila wali ab’ad menikahkan perempuan tersebut, maka hukum hubungan suami istrinya adalah syubhat namun tetap sah penasaban anak-anaknya. Akan tetapi tidak berlaku semua hukum mushâharah (hukum berdasarkan pernikahan kedua belah pihak). Perempuan tersebut berhak untuk mendapatkan mahar mitsl (mahar yang besarnya diukur berdasarkan kebiasaan keluarga pengantin perempuan) dan baginya iddah karena ia telah dilihat, dipegang dan digauli. Keduanya harus dipisahkan. Pengantin laki-laki harus mengucapkan akadnya dalam masa iddah pengantin perempuan dan baginya mahar senilai yang diucapkan oleh pengantin laki-laki (dalam akad tersebut). • أسنى المطالب شرح روض الطالب – ( ج ١٤ / ص ٣۷٤) ( وَالسُّلْطَانُ لَا يُزَوِّجُ إلَّا بَالِغَةً بِكُفْءٍ عُدِمَ وَلِيُّهَا ) الْخَاصُّ ( أَوْ غَابَ ) وَلِيُّهَا الْأَقْرَبُ مَسَافَةَ الْقَصْرِ كَمَا سَيَأْتِي ( أَوْ أَرَادَ نِكَاحَهَا ) لِابْنِ عَمِّهَا وَلَيْسَ لِلْأَبْعَدِ أَنْ يُزَوِّجَهَا لِبَقَاءِ الْأَقْرَبِ عَلَى وِلَايَتِهِ وَالتَّزْوِيجُ حَقٌّ عَلَيْهِ فَإِذَا تَعَذَّرَ مِنْهُ نَابَ عَنْهُ السُّلْطَانُ. (Asnâ al-Mathâlib Syarh Raudh al-Thâlibîn, jld. 14, hlm. 374) (Negara tidak berhak menikahkan kecuali perempuan yang telah baligh dengan laki-laki yang sekufu’ jika tidak ada walinya) pada keadaan khusus (atau ketika wali aqrab-nya tidak ada di tempat) sejauh jarak men-qashar shalat sebagaimana akan dibahas berikut (atau ketika seorang wali ingin menikahkan perempuan yang ada dalam perwaliannya) kepada anak laki-laki dari paman perempuan tersebut, maka tidaklah berhak seorang wali ab’ad untuk menikahkannya karena wali aqrab masih memiliki hak perwalian untuk menikahkan. Dan apabila ia berhalangan, maka ia harus mewakilkannya kepada hakim negara. • حاشية البجيرمي على المنهج – ( ج ١١ / ٤٦١ ) ( وَيُزَوِّجُ السُّلْطَانُ ) زِيَادَةً عَلَى مَا مَرَّ ( إذَا غَابَ ) الْوَلِيُّ ( الْأَقْرَبُ ) نَسَبًا ، أَوْ وَلَاءً ( مَرْحَلَتَيْنِ ، أَوْ أَحْرَمَ ، أَوْ عَضَلَ ) أَيْ : مَنَعَ دُونَ ثَلَاثِ مَرَّاتٍ ( مُكَلَّفَةً دَعَتْ إلَى كُفْءٍ ) ، وَلَوْ بِدُونِ مَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ تَزْوِيجِهَا بِهِ نِيَابَةً عَنْهُ ؛ لِبَقَائِهِ عَلَى الْوِلَايَةِ ؛ وَلِأَنَّ التَّزْوِيجَ فِي الْأَخِيرَةِ حَقٌّ عَلَيْهِ فَإِذَا امْتَنَعَ مِنْهُ وَفَاهُ الْحَاكِمُ بِخِلَافِ مَا إذَا دَعَتْ إلَى غَيْرٍ كُفْءٍ ؛ لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْكَفَاءَةِ وَيُؤْخَذُ مِنْ التَّعْلِيلِ أَنَّهَا لَوْ دَعَتْهُ إلَى مَجْبُوبٍ ، أَوْ عِنِّينٍ فَامْتَنَعَ الْوَلِيُّ كَانَ عَاضِلًا وَهُوَ كَذَلِكَ ؛ إذْ لَا حَقَّ لَهُ فِي التَّمَتُّعِ ، وَكَذَا لَوْ دَعَتْهُ إلَى كُفْءٍ فَقَالَ : لَا أُزَوِّجُك إلَّا مِمَّنْ هُوَ أَكْفَأُ مِنْهُ ، وَلَا بُدَّ مِنْ ثُبُوتِ الْعَضْلِ عِنْدَ الْحَاكِمِ لِيُزَوِّجَ ، كَمَا فِي سَائِرِ الْحُقُوقِ ، وَمِنْ خِطْبَةِ الْكُفْءِ لَهَا ، وَمِنْ تَعْيِينِهَا لَهُ ، وَلَوْ بِالنَّوْعِ بِأَنْ خَطَبَهَا أَكْفَاءُ وَدَعَتْ إلَى أَحَدِهِمْ . وَخَرَجَ بِالْمُرَحِّلَتَيْنِ مَنْ غَابَ دُونَهُمَا فَلَا يُزَوِّجُ السُّلْطَانُ إلَّا بِإِذْنِهِ ، نَعَمْ إنْ تَعَذَّرَ الْوُصُولُ إلَيْهِ لِخَوْفٍ جَازَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ بِغَيْرِ إذْنِهِ قَالَ الرُّويَانِيُّ ، أَمَّا لَوْ عَضَلَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَأَكْثَرَ فَقَدْ فَسَقَ ؛ فَيُزَوِّجُ الْأَبْعَدُ لَا السُّلْطَانُ ، كَمَا سَيَأْتِي ( وَلَوْ عَيَّنَتْ كُفُؤًا فَلِمُجْبِرٍ تَعْيِينُ ) كُفْءٍ ( آخَرَ ) ؛ لِأَنَّهُ أَكْمَلُ نَظَرًا مِنْهَا . ( قَوْلُهُ : فَالسُّلْطَانُ ) نَعَمْ لَوْ كَانَ الْحَاكِمُ لَا يُزَوِّجُ إلَّا بِدَرَاهِمَ لَهَا وَقْعٌ لَا تُحْتَمَلُ مِثْلُهَا عَادَةً كَمَا فِي كَثِيرٍ مِنْ الْبِلَادِ فِي زَمَنِنَا اتَّجَهَ جَوَازُ تَوْلِيَةِ أَمْرِهَا لِعَدْلٍ مَعَ وُجُودِهِ شَرْحُ م ر .  Hâsyiyah Al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj, jld. 11, hlm. 464 (Negara berhak menikahkan) menambahkan apa yang telah dibahas sebelumnya (jika wali perempuan) yang paling dekat secara nasab dan kasih sayang (tidak ada di tempat sejauh dua marhalah, atau sedang ihram, atau ia melarang perempuan—janda—untuk menikah) yaitu melarangnya menikah untuk kedua kalinya (padahal perempuan tersebut telah baligh dan akan menikahi laki-laki yang sepadan) meski pun tanpa mahar standar dari pernikahannya sebagai wakil dari wali perempuan; karena wali perempuan tersebut masih memiliki hak perwalian dan lantaran menikahkan—bagaimana pun juga—adalah hak seorang wali. Oleh karena itu, ketika ada hal yang menghalanginya untuk menikahkan, maka hak perwalian beralih kepada hakim kecuali jika perempuan tersebut ingin menikahi laki-laki yang tidak sekufu’ dengannya. Sebab seorang wali berhak untuk menentukan kesepadanan laki-laki yang ingin menikahi perempuan yang ada dalam perwaliannya. Dari sini ditetapkan bahwa jika seorang perempuan meminta walinya untuk menikahkannya dengan laki-laki yang dikebiri atau laki-laki impoten, kemudian walinya melarangnya, maka ia dianggap sebagai orang yang menghalang-halangi perempuan untuk menikah, karena seorang wali tidak memiliki hak untuk menikmati pernikahan. Demikian juga halnya jika perempuan tersebut memintanya untuk menikahkan dirinya kepada seorang laki-laki yang sepadan kemudian ia berkata: “Aku tidak akan mau menikahkanmu kecuali dengan laki-laki yang lebih sepadan darinya”. Harus juga dibuktikan bahwa seorang wali benar-benar menghalangi pernikahan sebelum hak perwalian dialihkan kepada hakim, sebagaimana hak-hak lainnya juga harus dibuktikan seperti lamaran seorang laki-laki sekufu’ atas seorang perempuan, juga keputusan seorang perempuan untuk menentukan laki-laki yang dipilihnya jika ada beberapa laki-laki sekufu’ yang meminangnya di saat bersamaan. Kata dua marhalah menjadi batasan bagi wali yang berada di tempat dengan jarak lebih dekat, maka hakim tidak berhak untuk menikahkan kecuali dengan izin wali tersebut. Namun, apabila jarak tersebut tetap tidak bisa ditempuh untuk dimintai izin karena kekhawatiran keamanan—misalnya—maka hakim boleh menikahkan seorang perempuan tanpa izin dari walinya. Al-Ruyani mengatakan jika seorang wali menghalang-halangi pernikahan hingga tiga kali bahkan lebih, maka ia adalah seorang yang fasik. Karenanya hak perwalian nikah beralih kepada wali ab’ad dan bukan kepada wali hakim, sebagaimana akan dibahas selanjutnya. (Jika seorang perempuan memilih laki-laki yang sekufu’, seorang wali berhak untuk memaksa perempuan itu menikah) dengan laki-laki sekufu’ (yang lain), karena sang wali lebih berpikiran panjang dari padanya. (Perkataan: maka ketika Penguasa) atau seorang hakim negara tidak mau menikahkan kecuali jika ia dibayar dengan jumlah tertentu sebagaimana biasa terjadi di banyak tempat pada saat ini, maka boleh hukumnya mengangkat seorang yang adil untuk menjadi wali muhakkam meski pun ada hakim resmi di tempat itu. • المهذب في فقه الإمام الشافعي – ( ج ٢ / ص ٣٧ ) وإن غاب الولي إلى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لان ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد وإنما تعذر من جهته فقام السلطان مقامه كما لو حضر وامتنع من تزويجها فإن كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة ففيه وجهان أحدهما لا يجوز تزويجها إلا بإذنه لانه كالحاضر والثاني يجوز للسلطان أن يزوجها لانه تعذر استئذانه فأشبه إذا كان في سفر بعيد ويستحب للحاكم إذا غاب الولي وصار التزويج إليه أن يأذن لمن تنتقل الولاية إليه ليزوجها ليخرج من الخلاف فإن عند أبي حنيفة أن الذي يملك التزويج هو الذي تنتقل الولاية إليه (الشرح) قال الشافعي رضى الله عنه: ولا ولاية لاحد وثم أولى منه، وجملة ذلك أنه إذا كان للمرأة وليان أحدهما أقرب من الآخر، فان الولاية للاقرب فان زوجها من بعده لم يصح. ( المجموع شرح المهذب: ج ١٦ / ص ١٦٢) (Al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imâm al-Syâfi’î, jld. 2, hlm. 37) Apabila seorang wali pergi ke suatu tempat dengan jarak yang membolehkan untuk men-qashar shalat, maka hak menikahkan beralih kepada hakim dan wali-wali lainnya tidak berhak untuk menikahkan sebab hak perwalian tetap ada (di tangan wali aqrab). Oleh karena itu, jika menikahkan atas namanya, maka hukumnya adalah sah. Seperti jika wali berhalangan, maka hakim bisa menggantikan kedudukannya. Dalam kasus ketika wali ada di tempat tetapi ada hal lain yang menghalanginya untuk menjadi wali nikah perempuan, maka apabila keberadaannya masih tidak melebihi jarak untuk men-qashar shalat, para ulama terbagi menjadi dua pendapat: pertama, tidak ada yang boleh menikahkan perempuan tersebut kecuali dengan seizin walinya, sebab walinya dianggap masih ada di tempat; kedua, hakim negara boleh menikahkan perempuan tersebut karena walinya tidak bisa dimintai izin sehingga ia dianggap sama dengan ketika wali sedang dalam perjalanan jauh. Jika wali tidak ada di tempat, maka dianjurkan kepada hakim (ketika diberi kewenangan untuk menggantikan wali) agar meminta izin terlebih dahulu kepada pengganti wali perempuan. Dengan demikian, bisa diambil jalan tengah dan keluar dari perdebatan pendapat yang ada, sesungguhnya Abu Hanifah berpendapat bahwa hak menikahkan ada di pihak yang menggantikan wali (yang tidak ada di tempat). (Syarah) Imam Syafi’i berkata: “Tidak ada hak perwalian bagi siapa pun selama masih ada wali yang paling utama (paling dekat). Oleh sebab itu, jika seorang perempuan memiliki dua wali dan salah satunya lebih dekat dari yang lain, maka hak perwalian ada pada yang lebih dekat perwaliannya kepada perempuan tersebut. Karenanya, ia wali yang lebih jauh menikahkan perempuan tersebut, maka nikahnya tidak dianggap sah. (Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, jld. 16, hlm. 162). • روضة الطالبين وعمدة المفتين – ( ج ٧ / ص ٦٨ ) فصل إذا لم يكن الولي الأقرب حاضرا نظر إن كان مفقودا لايعرف مكانه ولا موته وحياته زوجها السلطان لتعذر نكاحها من جهته وإن انتهى الأمر إلى غاية يحكم القاضي فيها بموته وقسم ماله بين ورثته على ما سبق في الفرائض انتقلت الولاية إلى الأبعد وإن عرف مكان الغائب فإن كان على مسافة القصر زوجها السلطان ولا يزوجها الأبعد وقيل يزوج الأبعد وعن القاضي أبي حامد إن كان من الملوك وكبار الناس اشترط مراجعته وإن كان من التجار وأوساط الناس فلا, والصحيح الأول وإن كان دون مسافة القصر فأوجه أحدها كالطويلة وهو ظاهر نصه في المختصر وأصحها لا تزوج حتى يراجع فيحضر أو يوكل نص عليه في الإملاء والثالث إن كان بحيث يتمكن المبتكر إليه من الرجوع إلى منزله قبل الليل اشترطت مراجعته وإلا فلا. ( فرع ) عن الشافعي رضي الله عنه أن السلطان لا يزوج من تدعي حتى يشهد شاهدان أنه ليس لها ولي حاضر وأنها خلية عن النكاح والعدة فقيل هذا واجب وقيل مستحب قلت الأصح أنه مستحب وبه قطع إبرهيم المروذي ذكره في آخر كتاب الطلاق والله أعلم. فعلى هذا لو ألحت في المطالبة ورأى السلطان التأخير فهل له ذلك وجهان ولا يقبل في هذا إلا شهادة مطلع على باطن أحوالها وإن كان الولي الغائب ممن لا يزوج إلا بإذن فقالت ما أذنت له فللقاضي تحليفها على نفي الإذن قلت قال الغزالي وللقاضي تحليفها أن وليها لم يزوجها في الغيبة إن رأى ذلك ومثل هذه اليمين التي لا تتعلق بدعوى هل هي مستحبة أم واجبة وجهان والله أعلم. ( فرع ) إذا غاب الولي الأقرب الغيبة المعتبرة فالأولى للقاضي أن يأذن للأبعد أن يزوج أو يستأذن ( فرع ) في فتاوى البغوي أن القاضي إذا زوج من غاب وليها ثم بعد العقد بحيث يعلم أنه كان قريبا من البلد عند العقد لم يصح النكاح (Raudhah al-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, jld. 7, hlm. 68) Pembahasan jika seorang wali aqrab tidak ada di tempat. Harus dilihat terlebih dahulu, jika ia hilang tidak diketahui tempat tinggalnya, juga tidak diketahui apakah ia sudah meninggal atau masih hidup, maka hakim negara berhak untuk menikahkan perempuan yang ada dalam perwalian wali yang hilang tersebut karena ia berhalangan untuk menikahkan. Apabila perkara tersebut telah selesai, maka hakim akan menetapkan wali yang hilang tersebut sebagai orang yang telah meninggal, sehingga harta yang ditinggalkannya dapat dibagi kepada ahli warisnya sebagaimana telah dibahas dalam pembahasan faraidh sebelumnya. Selain itu, hak perwalian juga beralih kepada wali yang lebih jauh (walî ab’ad) . Jika tempat tinggal wali aqrab diketahui dan masih dalam jarak yang tidak dibolehkan untuk men-qashar shalat, maka hakim negara berhak untuk menikahkan (perempuan yang ada dalam perwalian wali yang tidak ada tersebut) dan wali ab’ad tidak berhak untuk menikahkannya. Namun dikatakan juga bahwa wali ab’ad-lah yang berhak untuk menikahkan. Dari al-Qadhi Abu Hamid: “Apabila wali yang tidak ada di tempat tersebut berasal dari kalangan raja atau orang besar, maka disyaratkan agar ia pulang, dan jika dia dari kalangan pedagang atau kelas menengah, maka hal itu tidak disyaratkan, tetapi yang shahih adalah yang pertama. Akan tetapi jikalau jarak tersebut kurang dari jarak yang diperbolehkan untuk men-qashar shalat maka ada tiga pendapat. Pertama: hukumnya disamakan dengan jarak yang jauh sebagaimana zhahir nash yang tertulis dalam kitab al-Mukhtashar. Kedua: (hakim) tidak boleh menikahkan hingga wali perempuan tersebut pulang atau menuliskan surat kuasa untuk mewakilinya. Ketiga: jika wali itu bisa mencapai rumah sebelum malam tiba, maka disyaratkan agar ia pulang, namun jika tidak, maka hal itu pun tidak disyaratkan. Dari imam Syafi’i: “Seorang hakim negara tidak boleh menikahkan seorang perempuan sampai ada dua saksi yang menyatakan bahwa perempuan tersebut memang tidak memiliki wali yang ada di tempat, juga perempuan tersebut tidak dalam ikatan pernikahan dan masa iddah. Dikatakan bahwa ini wajib dilakukan, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa hukumnya hanya dianjurkan saja. Saya memilih untuk mengatakan bahwa pembuktian dengan dua saksi ini hanya dianjurkan dan tidak wajib, seperti yang dikatakan oleh Ibrahim al-Marudzi di akhir pembahasan kitab al-Thalâq. Para ulama terbagi menjadi dua pendapat tentang apakah wali negara boleh menunda pernikahan padahal sang perempuan memaksa untuk segera menikah. Dalam hal ini tidak ada yang bisa dijadikan saksi kecuali keadaan zhahir perempuan itu sendiri, dan bukan batinnya. Apabila wali yang tidak ada di tempat tidak mau menikahkan kecuali dengan izinnya, kemudian perempuan itu berkata: “Saya tidak mendapatkan izinnya”, maka hakim harus menyumpah perempuan itu bahwa ia benar-benar tidak diberi izin. Imam Ghazali berpendapat bahwa hakim harus mengambil sumpah perempuan itu yang menyatakan bahwa walinya tidak mau menikahkannya sedang ia tidak berada di tempat, jika memang hakim melihat bahwa hal itu benar adanya. Adapun pengambilan sumpah itu sendiri yang tidak berhubungan dengan pengakuan apapun, para ulama berbeda pendapat apakah hukumnya dianjurkan ataukah wajib. Wallâhu a’lam. (Pembahasan) jika wali aqrab sedang tidak ada di tempat dan berada dalam jarak yang cukup jauh, maka lebih baik agar hakim memberi izin kepada wali ab’ad untuk menikahkan, atau agar meminta izin. Dalam kitab Fatâwâ al-Baghawî disebutkan jika hakim menikahkan seorang perempuan yang walinya sedang tidak ada di tempat kemudian setelah akad baru diketahui bahwa sebenarnya walinya berada tidak jauh dari tempat tersebut ketika akad dilangsungkan, maka hukum nikahnya tidaklah sah. • الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج ١٠ / ص ۲٩٠) تَحَوُّل الْوِلاَيَةِ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ : تَتَحَوَّل الْوِلاَيَةُ مِنَ الْوَلِيِّ الأَْقْرَبِ إِلَى الْوَلِيِّ الأَْبْعَدِ فِي مَوَاطِنَ مِنْهَا : إِذَا فُقِدَ الْوَلِيُّ الأَْقْرَبُ ، وَكَذَلِكَ إِذَا أُسِرَ أَوْ حُبِسَ . فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ الْوِلاَيَةَ تَتَحَوَّل مِنَ الْوَلِيِّ الأَْقْرَبِ إِلَى الأَْبْعَدِ .وَأَمَّا الشَّافِعِيَّةُ فَالْوِلاَيَةُ عِنْدَهُمْ تَنْتَقِل إِلَى الْحَاكِمِ . وَمِنْهَا غَيْبَةُ الْوَلِيِّ ، فَإِذَا غَابَ الْوَلِيُّ غَيْبَةً مُنْقَطِعَةً تَنْتَقِل الْوِلاَيَةُ مِنَ الأَْقْرَبِ إِلَى الأَْبْعَدِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ . وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ تَنْتَقِل إِلَى الْحَاكِمِ ؛ لأَِنَّ الْحَاكِمَ وَلِيُّ الْغَائِبِ . وَكَذَلِكَ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ، إِلاَّ إِذَا حَكَمَ الْقَاضِي بِمَوْتِ الْوَلِيِّ الأَْقْرَبِ وَقَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ وَرَثَتِهِ ، فَتَنْتَقِل عِنْدَهُمْ إِلَى الأَْبْعَدِ .وَمِنْهَا : الْعَضْل ، وَهُوَ : مَنْعُ الْوَلِيِّ مُوَلِّيَتَهُ مِنْ زَوَاجِ الْكُفْءِ . فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ ، وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ : إِلَى أَنَّ الْوَلِيَّ الأَْقْرَبَ إِذَا عَضَلَهَا انْتَقَلَتِ الْوِلاَيَةُ إِلَى السُّلْطَانِ ، وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ . وَذُكِرَ ذَلِكَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وَشُرَيْحٍ . وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ فِي الْمَنْصُوصِ مِنَ الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّهَا تَنْتَقِل إِلَى الأَْبْعَدِ (Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jld. 10, hlm. 290) Perpindahan hak perwalian dalam akad nikah: hak perwalian dapat beralih dari wali aqrab kepada wali ab’ad dalam beberapa keadaan, seperti jika wali aqrab hilang atau tidak ada, sedang ditawan atau ditahan, menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali, hak perwalian pun beralih dari wali aqrab kepada wali ab’ad. Sedangkan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak perwalian beralih kepada hakim. (Masalah) ketiadaan wali. Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali, apabila wali dipastikan sedang tidak ada di tempat, maka hak perwalian beralih kepada wali ab’ad. Sedangkan menurut madzhab Maliki, perwalian tersebut beralih kepada hakim, karena hakim adalah wakil bagi wali yang tidak ada di tempat. Pendapat ini diamini oleh madzhab Syafi’i, hanya saja ditambahkan pengecualian, yaitu jika hakim telah menetapkan bahwa wali aqrab yang tidak ada di tempat tersebut telah meninggal, dan hartanya telah dibagi kepada para ahli waris, maka hak perwalian beralih kepada wali ab’ad. (Masalah) ‘adhl, yaitu seorang wali yang melarang perempuan yang berada dalam perwaliannya untuk menikahi laki-laki yang sepadan. Menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, berdasarkan riwayat dari imam Ahmad: “Apabila seorang wali dekat melarang perempuan yang ada dalam perwaliannya untuk menikahi seorang laki-laki yang sepadan, maka hak perwaliannya beralih kepada hakim”, pendapat ini juga dipilih oleh Abu Bakar al-Shiddiq. Hal itu disebutkan dalam sebuah riwayat dari Utsman ibn ‘Affan dan Syuraih dari Abu Bakar. Sedangkan madzhab Hanbali sebagaimana tertulis dalam kitab madzhabnya menyatakan bahwa hak perwalian tersebut beralih kepada wali ab’ad. mohon koreksi.... (PREPARED BY : ARIF ROCHMAN, MSi )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar