Tata cara berwakaf uang adalah
dengan cara datang langsung kepada nadzir wakaf, baik kepada lembaga
penyelenggara wakaf atau perorangan yang sudah bersertifikat menjadi
pengelola wakaf , di zaman yang serba modern ini wakaf memang mudah bisa
via bank yang sudah di tunjuk seagai LKS yaitu bank bank syariah di
indonesia.
Wakaf bukanlah sesuatu yang asing bagi
umat Islam karena eksistensinya bisa dikatakan hampir bersamaan dengan
eksistensi Islam dan umat Islam itu sendiri. Masih segar dalam ingatan
umat Islam, bahwa ketika Rasulullah, pembawa risalah Islam, berhijrah
dari Makkah menuju Madinah dan sesampainya di Madinah beliau
memperkenalkan wakaf kepada kaum Muslimin, di mana pada masa itu kaum
asli Madinah yang bernama kaum Najja mendapatkan tawaran dari
Rasulullah, untuk mewakafkan tanahnya karena ketika itu beliau
memerlukan tanah untuk pembangunan masjid.
Baliau mengatakan: ”Wahai Bani Najja,
maukah kalian menjual kebun kalian ini?” Mereka menjawab:”(Ya!, tapi),
demi Allah, kami tidak akan meminta harganya, kecuali mengharapkan
pahala dari Allah.” Kemudian beliau mengambilnya, lalu membangun masjid
di atasnya.” Dari sinilah, lalu menjadi tradisi umat Islam mewakafkan
tanah-tanah miliknya untuk keperluan pembangunan masjid dan kepentingan
umum lainnya.
Selama ini sebagian umat Islam telah
terbiasa mewakafkan harta bendanya yang tetap (tidak bergerak) seperti
tanah, namun untuk mewakafkan harta bendanya yang tidak tetap (bergerak)
tidak begitu terbiasa. Hal tersebut tidak terlepas dari pemahaman
tentang lebih afdholnya mewakafkan harta benda berupa benda tetap
seperti tanah dari pada benda lainnya yang bergerak. Keafdholan tersebut
ditopang atas alasan antara lain, karena yang dicontohkan Rasulullah
adalah wakaf tanah dan karena tanah merupakan harta benda yang bisa
dibilang kekal sifatnya atau tidak gampang musnah, meskipun bisa musnah.
Sedang untuk wakaf berupa benda lainnya tidaklah seperti demikian
keadannya.
Secara bahasa, kata wakaf berasal dari
bahasa Arab “waqafa” (berhenti) atau “waqfun” (terhenti). Kata ini
terkandung maksud, bahwa harta benda yang telah diwakafkan adalah
berhenti, tidak boleh dipindahkan. Baik dipindahkan dengan cara
memberikan kepada orang lain (hibah), dengan cara menjual, dengan cara
mewariskan, atau dengan bentuk-bentuk perpindahan lainnya. Atau, berarti
“Habasa” (menahan) atau “habsun” (tertahan). Dari kata ini terkandung
maksud sama seperti yang terkandung dalam kata wakaf, bahwa harta benda
yang telah diwakafkan itu keadaannya tertahan atau ditahan. Maksudnya,
tidak boleh dipindahtangankan, baik dengan cara menjual, menghibahkan,
mewariskan atau lainnya.
Menurut istilah, wakaf adalah menahan
harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Demikian Sayid Sabiq
mendefinisikannya dalam kitabnya Fiqhussunnah: 14 : 148. Para ahli hukum
Islam lainnya, hampir sama dengan Sayid Sabiq dalam medefinisikan wakaf
tersebut. Imam Abu Hanifah, misalnya, yang menyatakan wakaf adalah
menahan benda dan memberikan hasilnya. Golongan Malikiyah menyatakan,
wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik manfaat
tersebut berupa sewa atau hasilnya, untuk diserahkan kepada orang yang
berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang
dikehendaki orang yang mewakafkan (wakif). Sementara jumhur ulama
mendefinisikan wakaf, dengan menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
dengan tetap utuhnya barang.
Dari beberapa definisi tersebut dapat
difahami bahwa wakaf adalah memberikan manfaat benda kepada pihak lain,
baik perorangan atau umum, di mana bendanya tidak boleh
dipindahtangankan kepada pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar